Oleh orang Belanda disebut Buitenzorg namanya. Kalau sekarang kota hujan panggilannya. Jika kita mendengar kata Bogor, kebun raya dan istana yang ada dipikiran. Kota bogor tidak hanya menawarkan pariwisata tetapi juga kulinernya. Khususnya di Handelstraat atau yang sekarang kita kenal sebagai jalan Surya Kencana.
Memasuki kota bogor, sebelum sampai di jalan surya kencana, bagunan pilar layaknya zaman romawi kuno, Lawang Salapan berdiri megah dengan tulisannya yang khas “Di Nu Kiwari Ngancik Nu Bihari Seja Ayeuna Sampeureun Jaga”. Semboyan kota bogor yang artinya “Apa yang telah dinikmati oleh masa sekarang adalah hasil pekerjaan orang terdahulu dan apa yang diperbuat oleh orang di masa sekarang adalah warisan untuk masa depan”.
Semboyan kota bogor ini agak benar adanya, jalan Surya Kencana Bogor merupakan warisan peninggalan yang dibangun sejak zaman kolonial hindia belanda, Gubernur Daendels. Tepat di belakang Jalan Surya Kencana terdapat pemukiman keturunan Tionghoa. Itulah mengapa bangunan di jalan Surya Kencana memiliki ciri khas kolonial dengan perpaduan pecinan. Dalam perkembangannya, jalan Surya Kencana yang dikenal sebagai pusat perniagaan berubah menjadi pusat kuliner kota bogor.
Cuaca terik nan panas bulan juni tidak menghalangi pelancong baik dari luar kota bogor atau dalam kota bogor itu sendiri untuk berwisata kuliner di jalan Surya Kencana. Terbukti, jalan Surya Kencana tidak pernah sepi dan selalu ramai. Bunyi klakson bersaut-sautan di sepanjang jalan seperti latar musik. Juru parkir tampak sibuk mengatur lalu lintas dan membantu pengunjung memarkirkan kendaraannya. Sepanjang jalan dipenuhi oleh kios makanan lezat khas yang siap memanjakan lidah dan pembeli yang bersemangat tanpa lelah mengantri. Sejauh mata memandang, ingin menyantap dan mencoba semuanya.
Makanan yang dijual sangat beraneka ragam, mulai dari laksa, martabak, lumpia, soto, es cincau kelapa dan masih banyak lagi. Semua layak dicoba. Salah satu yang menarik perhatian adalah laksa bogor gang aut yang sudah disempurnakan melewati tiga generasi. Kuah kuningnya gurih dan kaya rempah disertai dengan ketupat, bihun, ayam suwir, dan tauge. Rasa yang dimiliki benar-benar khas. “Gak heran sih, dikelola sampai tiga generasi.” ujar Nathalia Gabriela, salah satu teman kuliner pada hari itu. Untuk harganya sendiri sekitar Rp40.000,00 per porsi, dapat dibilang standar.
Masih kurang komplit jika tidak mencoba es cincau kelapa. Lumayan banyak pembeli pada saat itu dan tidak sengaja terdengar obrolan orang disekitar yang juga ikut membeli, “Belum lengkap panas-panas gini, gak beli es cincau kelapa,”. Ternyata benar cincaunya lembut dengan manis yang pas alami menggunakan gula aren, benar-benar menyegarkan. Cincau yang digunakan dibuat dari daun cincau asli alami, tanpa bahan pengawet buatan. Harganya pun relatif terjangkau, Rp8.000,00 rupiah per porsi.
Sebenarnya masih banyak lagi makanan lain yang patut dicoba di jalan Surya Kencana, tapi karena keterbatasan penulis dua menu tadi, laksa bogor gang aut dan es cincau kelapa yang menjadi terfavorit.
Memang bukan tempat kekinian yang banyak anak mudanya, tetapi jalan Surya Kencana menyimpan memori lintas zaman, dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Tidak hanya itu, tetapi juga lambang kuliner kota Bogor. Jangan sampai kuliner legendaris jalan Surya Kencana hilang dimakan zaman dan dilupakan. Apa yang ada di jalan surya kencana harus dipertahankan menjadi tempat kuliner bersejarah. Kita yang ikut ambil peran karena apa yang diperbuat oleh orang di masa sekarang adalah warisan untuk masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar